Kondisi ruang perawatan penyakit dalam, RSUD Dr.Bob Bazaar Kalianda, menumpuk. Selain itu, sejumlah fasilitas diruangan tersebut, cukup prihatinkan. |
Melihat Ruang Perawatan Kelas III RSUD dr. Bob Bazar
Ruang perawatan merupakan salah satu unsur penunjang orang sakit dapat sembuh dari penyakitnya. Namun, bagaimana jika ruang perawatan itu justru dikhawatirkan membuat orang sakit bertambah sakit?
Laporan EDWIN APRIANDI, KALIANDA
Gema adzan Maghrib lantang berkumandang Minggu (13/1) sekitar pukul 18.10 WIB. Ketika itu pula, Dwi Maryudi (25), warga yang tinggal di Jl. Lettu Rohani, Desa Kedaton, Kecamatan Kalianda ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD dr. Bob Bazar, S.K.M untuk memeriksa kondisi panas tinggi yang dideritanya selama tiga hari belakangan.
Begitu tiba di IGD dengan diantar teman-temannya, Yudi begitu karibnya disapa, langsung mendapat sambutan baik para petugas medis yang berada di IGD. Adzan yang berkumandang pun tak menyurutkan petugas medis untuk melakukan tindakan pertolongan kepada mereka yang datang. Ada sekitar tiga warga yang datang sore menjelang malam itu.
Masing-masing petugas cukup sigap dan respons menangani mereka yang sakit. Setelah rampung melakukan tindakan, Yudi, yang mengalami penurunan trombosit harus dirawat. Jumlah trombosit sebanyak 110 ribu itu tidak memperkenankan pria yang bekerja di Pengadilan Negeri Kalianda itu untuk pulang.
Sementara, dari informasi para petugas medis di IGD, ruang perawatan kelas VIP, Kelas I, dan II penuh. Adapun ruang yang masih tersisa ruang perawatan penyakit dalam.Yudi akhirnya memutuskan untuk dirawat. Perasaan khawatir dengan kondisi ruang perawatan penyakit dalam memang menyelimutinya dan rekan-rekannya yang mengantar kerumah sakit.
Terbukti, begitu sampai diruang penyakit dalam menggunakan kursi roda, kondisi ruang itu sangat memprihatinkan. Terlebih di ruangan khusus pasien Jampersal dan Jamkesda itu banyak pasien yang dirawat. Baik karena penyakit dalam maupun para pasien yang menjalani observasi pebris seperti Yudi. Maklum, belakangan ini RSUD dipadati pasien akibat serangan demam berdarah dengue (DBD) yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan. Dari data yang ada saat ini ada sekitar 8 warga positif DBD dirawat di RSUD, sementara 29 warga lainnya menjalani observasi pebris.
Minimnya fasilitas menjadi pemandangan yang bisa langsung dilihat diruangan ini. Ruang 04 berukuran 7x8 meter persegi itu dihuni 8 orang pasien laki-laki yang terduga DBD. Maklum, jumlah trombosit kebanyakan pasien itu kurang dari normal. Yakni hanya dikisaran 100 - 150 ribu. Hampir tidak ada jarak antara satu kasur pasien yang satu dengan pasien lainnya yang ada diruangan itu. Wajar jika pasien mengeluhkan ruang perawatan yang serba kurang itu. Bahkan, untuk fasilitas tempat tidur saja tak lengkap. Bantal yang menjadi pelengkap tempat tidur pasien pun tak ada. Kebanyakan pasien yang dirawat saat ini membawa sendiri bantal dari rumah. Ada juga yang menggunakan tumpukan kain untuk ganjelan kepala sebagai bantal.
Yanti (29), warga Desa Pematang Pasir, Kecamatan Ketapang membenarkan hal itu. Menurutnya, bantal yang saat ini digunakan merupakan bantal yang dibawa dari rumah. "Memang tidak ada, Mas. Saya bawa dari rumah," ujar Yanti kepada Radar Lamsel. Saat datang keruang itu, Yudi nampak kaget. Sebab, diruangan itu seperti pasar yang ramai dengan orang. Kondisi ini memang bukan pemandangan baru di RSUD dr. Bob Bazar. Keluarga pasien yang jumlahnya tak terkira kerap datang mendampingi pasien yang sakit.
Begitu tiba ditempat tidur perawatan, tidak ada fasilitas apapun yang tersedia. Seprai berwarna biru muda, juga baru dipasang sesaat dirinya ingin dirawat.
Bantal yang biasa digunakan untuk gangalan kepala saat akan berbaring pun tak ada. Rekan-rekan Yudi yang mendampingi akhirnya memutuskan untuk mengambil bantal dan guling dari rumah. Dari keterangan salah seorang perawat diruangan itu, bantal memang tidak disiapkan pihak rumah sakit. "Dulu memang bantal disiapkan. Namun karena habis karena dibawa pasien pulang, bantal jadi tidak ada lagi," ujar pasien kepada Radar Lamsel.
Selesai seprai dipasang, Yudi tak langsung istirahat. Ia terlebih dahulu memperhatikan sekeliling tempat perawatan dilokasi itu. "Ada dua kemungkinan pasien dirawat ditempat ini. Pertama cepat sembuh karena melihat kondisi ruang rawat yang memprihatinkan ini atau yang kedua sakit makin bertambah parah," ujar Yudi kepada rekan-rekannya.
Rekan-rekan Yudi memang berencana merujuk Yudi ke RS yang ada di Bandarlampung. Karena sesuatu hal, rekan Yudi memutuskan untuk bertahan selama satu atau dua hari di RSUD berpelat merah itu. "Kalau memang makin parah, kami akan rujuk ke RS di Bandarlampung saja," kata Tommy, teman Yudi. Kasur-kasur tempat perawatan diruang itu juga terlihat janggal. Ada yang terlihat masih baru, ada yang sudah usang. Didalam ruang perawatan tidak ada kotak sampah. Letak kotak sampah berada didepan water closed (WC) yang berada didepan pintu ruang perawatan paling ujung. Bau tak sedap langsung tercium bagi siapapun yang melintas didepan WC. Banyaknya jumlah keluarga yang mendampingi pasien memang disinyalir menjadi penyebab kamar kecil tersebut tak steril dari bau tak sedap.
Malam itu Yudi memutuskan untuk tetap dirawat. Sampai pada Senin (14/1) siang, rekan-rekan Yudi memutuskan untuk merujuknya ke RS Ahmad Yadi, di Kota Metro.
Kepala Bidang Perawatan RSUD dr. Bob Bazar, S.K.M Suherman, S.K.M membenarkan minimnya bantal yang dimiliki RSUD. Dia berkilah, kekurangan bantal tersebut memang karena ulah para pasien yang jahil. "Dulu stok bantal kami cukup banyak. Karena satu persatu hilang, sekarang habis," kata Suherman kepada Radar Lamsel, kemarin. Dia tidak membantah tidak representatif ruang perawatan penyakit dalam sebagai tempat perawatan orang sakit. "Memang tidak layak. Tapi kami tidak bisa berbuat banyak," kata Suherman.
Suherman juga mengomentari tempat-tempat tidur yang janggal karena berbeda-beda. Menurutnya, kasur baru yang ada saat ini merupakan pengadaan alat kesehatan tahun 2012. Pada tahun itu, sebanyak 50 unit kasus disebar disetiap ruangan perawatan. "Jadi yang diganti adalah kasus yang sudah sangat rusak," pungkas Suherman. (bersambung)
Ruang perawatan merupakan salah satu unsur penunjang orang sakit dapat sembuh dari penyakitnya. Namun, bagaimana jika ruang perawatan itu justru dikhawatirkan membuat orang sakit bertambah sakit?
Laporan EDWIN APRIANDI, KALIANDA
Gema adzan Maghrib lantang berkumandang Minggu (13/1) sekitar pukul 18.10 WIB. Ketika itu pula, Dwi Maryudi (25), warga yang tinggal di Jl. Lettu Rohani, Desa Kedaton, Kecamatan Kalianda ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD dr. Bob Bazar, S.K.M untuk memeriksa kondisi panas tinggi yang dideritanya selama tiga hari belakangan.
Begitu tiba di IGD dengan diantar teman-temannya, Yudi begitu karibnya disapa, langsung mendapat sambutan baik para petugas medis yang berada di IGD. Adzan yang berkumandang pun tak menyurutkan petugas medis untuk melakukan tindakan pertolongan kepada mereka yang datang. Ada sekitar tiga warga yang datang sore menjelang malam itu.
Masing-masing petugas cukup sigap dan respons menangani mereka yang sakit. Setelah rampung melakukan tindakan, Yudi, yang mengalami penurunan trombosit harus dirawat. Jumlah trombosit sebanyak 110 ribu itu tidak memperkenankan pria yang bekerja di Pengadilan Negeri Kalianda itu untuk pulang.
Sementara, dari informasi para petugas medis di IGD, ruang perawatan kelas VIP, Kelas I, dan II penuh. Adapun ruang yang masih tersisa ruang perawatan penyakit dalam.Yudi akhirnya memutuskan untuk dirawat. Perasaan khawatir dengan kondisi ruang perawatan penyakit dalam memang menyelimutinya dan rekan-rekannya yang mengantar kerumah sakit.
Terbukti, begitu sampai diruang penyakit dalam menggunakan kursi roda, kondisi ruang itu sangat memprihatinkan. Terlebih di ruangan khusus pasien Jampersal dan Jamkesda itu banyak pasien yang dirawat. Baik karena penyakit dalam maupun para pasien yang menjalani observasi pebris seperti Yudi. Maklum, belakangan ini RSUD dipadati pasien akibat serangan demam berdarah dengue (DBD) yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan. Dari data yang ada saat ini ada sekitar 8 warga positif DBD dirawat di RSUD, sementara 29 warga lainnya menjalani observasi pebris.
Minimnya fasilitas menjadi pemandangan yang bisa langsung dilihat diruangan ini. Ruang 04 berukuran 7x8 meter persegi itu dihuni 8 orang pasien laki-laki yang terduga DBD. Maklum, jumlah trombosit kebanyakan pasien itu kurang dari normal. Yakni hanya dikisaran 100 - 150 ribu. Hampir tidak ada jarak antara satu kasur pasien yang satu dengan pasien lainnya yang ada diruangan itu. Wajar jika pasien mengeluhkan ruang perawatan yang serba kurang itu. Bahkan, untuk fasilitas tempat tidur saja tak lengkap. Bantal yang menjadi pelengkap tempat tidur pasien pun tak ada. Kebanyakan pasien yang dirawat saat ini membawa sendiri bantal dari rumah. Ada juga yang menggunakan tumpukan kain untuk ganjelan kepala sebagai bantal.
Yanti (29), warga Desa Pematang Pasir, Kecamatan Ketapang membenarkan hal itu. Menurutnya, bantal yang saat ini digunakan merupakan bantal yang dibawa dari rumah. "Memang tidak ada, Mas. Saya bawa dari rumah," ujar Yanti kepada Radar Lamsel. Saat datang keruang itu, Yudi nampak kaget. Sebab, diruangan itu seperti pasar yang ramai dengan orang. Kondisi ini memang bukan pemandangan baru di RSUD dr. Bob Bazar. Keluarga pasien yang jumlahnya tak terkira kerap datang mendampingi pasien yang sakit.
Begitu tiba ditempat tidur perawatan, tidak ada fasilitas apapun yang tersedia. Seprai berwarna biru muda, juga baru dipasang sesaat dirinya ingin dirawat.
Bantal yang biasa digunakan untuk gangalan kepala saat akan berbaring pun tak ada. Rekan-rekan Yudi yang mendampingi akhirnya memutuskan untuk mengambil bantal dan guling dari rumah. Dari keterangan salah seorang perawat diruangan itu, bantal memang tidak disiapkan pihak rumah sakit. "Dulu memang bantal disiapkan. Namun karena habis karena dibawa pasien pulang, bantal jadi tidak ada lagi," ujar pasien kepada Radar Lamsel.
Selesai seprai dipasang, Yudi tak langsung istirahat. Ia terlebih dahulu memperhatikan sekeliling tempat perawatan dilokasi itu. "Ada dua kemungkinan pasien dirawat ditempat ini. Pertama cepat sembuh karena melihat kondisi ruang rawat yang memprihatinkan ini atau yang kedua sakit makin bertambah parah," ujar Yudi kepada rekan-rekannya.
Rekan-rekan Yudi memang berencana merujuk Yudi ke RS yang ada di Bandarlampung. Karena sesuatu hal, rekan Yudi memutuskan untuk bertahan selama satu atau dua hari di RSUD berpelat merah itu. "Kalau memang makin parah, kami akan rujuk ke RS di Bandarlampung saja," kata Tommy, teman Yudi. Kasur-kasur tempat perawatan diruang itu juga terlihat janggal. Ada yang terlihat masih baru, ada yang sudah usang. Didalam ruang perawatan tidak ada kotak sampah. Letak kotak sampah berada didepan water closed (WC) yang berada didepan pintu ruang perawatan paling ujung. Bau tak sedap langsung tercium bagi siapapun yang melintas didepan WC. Banyaknya jumlah keluarga yang mendampingi pasien memang disinyalir menjadi penyebab kamar kecil tersebut tak steril dari bau tak sedap.
Malam itu Yudi memutuskan untuk tetap dirawat. Sampai pada Senin (14/1) siang, rekan-rekan Yudi memutuskan untuk merujuknya ke RS Ahmad Yadi, di Kota Metro.
Kepala Bidang Perawatan RSUD dr. Bob Bazar, S.K.M Suherman, S.K.M membenarkan minimnya bantal yang dimiliki RSUD. Dia berkilah, kekurangan bantal tersebut memang karena ulah para pasien yang jahil. "Dulu stok bantal kami cukup banyak. Karena satu persatu hilang, sekarang habis," kata Suherman kepada Radar Lamsel, kemarin. Dia tidak membantah tidak representatif ruang perawatan penyakit dalam sebagai tempat perawatan orang sakit. "Memang tidak layak. Tapi kami tidak bisa berbuat banyak," kata Suherman.
Suherman juga mengomentari tempat-tempat tidur yang janggal karena berbeda-beda. Menurutnya, kasur baru yang ada saat ini merupakan pengadaan alat kesehatan tahun 2012. Pada tahun itu, sebanyak 50 unit kasus disebar disetiap ruangan perawatan. "Jadi yang diganti adalah kasus yang sudah sangat rusak," pungkas Suherman. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar